Tak bisa ku bayangkan seberapa hambarnya hidupku tanpa mereka, orang-orang yang selama beberapa tahun terakhir ini bersama ku. Ya, mereka... Orang-orang yang membuatku tak pernah berhenti berucap syukur kepada Tuhan karena telah mempertemukanku dengan mereka. Aku mungkin akan sangat menyesali jika hari itu aku benar-benar memutuskan untuk tidak bergabung di lembaga kuli tinta ini. Awal pertemuan yang sungguh biasa-biasa saja. Mengikuti diklat untuk perekrutan anggota lembaga tersebut, aku dan mereka sama sekali belum saling mengenal, tapi di antara beberapa dari mereka mungkin sudah mengenal. Waktu terus berlalu tanpa permisi, makin hari waktu seperti memaksa kami untuk semakin dekat dan wajib untuk saling mengenal, seperti tak ada hari esok lagi tampaknya. Satu persatu kami mulai tahu kebiasaan masing-masing, semakin hari kami mulai sering bertengkar, memperdebatkan hal-hal yang tidak begitu penting, atau bahkan saling ejek satu sama lain. Dan hal itulah yang ku pastikan akan ku rindukan satu hari nanti. Aku berusaha ingin menuliskan tentang mereka sartu per satu.
Neena, perempuan yang sedikit langka, enggan disebut cantik ataupun manis ia malah mengklaim dirinya orang yang paling keren di manapun, kapanpun, dan jika dibandingkan dengan siapapun. Awalnya kupluk menjadi ciri khas perempuan berdarah Pinrang ini. Namun, lama-kelamaan ia mungkin bosan dengan gaya yang ia sebut keren itu, ia pun hijrah dengan memilih topi sebagai gaya keren terbarunya. Punya hobi motret dan dipotret, setelah itu memposting foto hasil jepretannya. Begitulah dia menyalurkan hobi yang tak jelas juntrungannya, ajang narsis belaka lebih tepatnya.
Riana, perempuan yang juga tak kalah narsisnya dari Neena. Senang dipotret tapi tak begitu senang memotret. Perempuan yang sebegitu meronanya kala ia diserbu dengan kata-kata “hai manis” oleh salah satu teman lelakiku. Sontak ia bertolak pinggang bergaya laiknya peragawati di catwalk. Tubuh langsingnya memang layak dibandingkan dengan para peragawati-peragawati tersebut. Tak jarang ia bahkan menjadi bahan gombalan teman-teman lelakiku, terkadang ia hanya membalas dengan senyum manis andalannya dengan memamerkan gingsul kebanggannya, atau terkadang ia mencoba membalas gombalan meski lebih sering gagal.
Mimy, temanku yang satu ini sedikit lebih dewasa dari kedua teman perempuan yang ku ceritakan sebelumnya. Sikapnya yang tenang dalam menghadapi masalah membuatku tak pernah segan membagi keluh kesahku pada perempuan berdarah Bone ini. Saat butuh pencerahan ia betul-betul menjadi tempatku mengadu. Sayang, ia begitu cepat mengakhiri karirnya bersama kami di lembaga kuli tinta ini. Bukan atas kemauannya, tapi lebih kepada kewajiban akademik yang sudah ia selesaikan di kampus. Untuk sekedar menenangkan hatinya karena sedikit tak rela meninggalkan kami, ia tetap membangkitkan obsesinya untuk menjadi seorang guru.
Tristan, temanku yang paling bijaksana di antara kelima teman lelaki lainnya. Tapi, sayang tak sedikitpun kebijaksanaannya itu tampak sebelum ia betul-betul bersuara. Penampilannya yang selalu apa adanya membuatnya selalu mencolok di antara yang lainnya. Terlebih saat ia mengenakan celana robek di lutut plus sendal jepit andalannya. Tak ada yang menyangka, ia selalu menjadi penengah dalam sebuah permasalahan yang sering kami temui, entah itu saat rapat berlangsung atau dalam hal-hal lainnya. Saat ia mulai angkat bicara, dengan pesona mata sipitnya siap-siap saja semua mata tertuju padanya.
Rial, si pemilik cambang terlebat di antara kelima teman lainnya. Selalu membangun obsesinya yang tiap ia bercerita selalu saja berbeda, di satu waktu ingin menjadi dosen yang handal, di satu waktu ingin menjadi rektor, di lain waktu ingin menjadi seorang anggota DPR, dan di waktu lainnya ingin menjadi seorang Menteri seperti Dahlan Iskan idoalnya. Satu hal yang paling unik dari temanku yang satu ini saat ia tertawa, semua tubuhnya bergetar, tak jarang ia malah menggaruk perutnya, dan saat itu justru kami yang merasa tergelitik.
Arian, teman lelakiku yang paling sering mengklaim dirinya tampan dan punya banyak fans. Orang yang terlihat cuek dan terlihat tidak begitu peduli dengan teman-temannya, tapi siapa sangka aku pernah mendapati tulisan pendeknya yang bercerita tentang kebiasaan teman-temannya, sedikit membuktikan ternyata ia cukup perhatian terhadap kami. Ia juga senang menulis sajak-sajak pendek, tapi tak jarang teman-teman yang lain menghakimi dengan candaan bahwa tulisannya adalah copy paste. Tapi ia tetap percaya diri untuk menulis dan menyimpannya untuk dirinya sendiri. Awalnya bakatnya justru terlihat dalam hal fotografi, tapi belakangan ia malah sibuk dengan usaha investasinya.
Rama, orang tak banyak bicara tapi sekali bicara seperti mobil yang kehilangan rem nya. Senang menulis kemudian mempublikasikannya dalam blognya, yang tak pernah enggan ia promosikan kepada kami, atau bahkan di social net miliknya. Temanku yang bisa di bilang sukses dalam berbagai hal, tapi tidak dalam soal percintaan. Di setiap memasuki tahun baru ia selalu bertekad akan menemukan tambatan hatinya. Tapi sampai tahun ketiga kami berteman, ia bahkan belum membuktikan tekadnya itu. Hingga akhirnya ia malah memilih cappuccino sebagai kekasihnya, yang selalu setia mendampinginya menemukan inspirasi menulis.
Faiz, teman lelakiku yang tampak covernya sangat pendiam, innocent, dan kalem. Namun siapa sangka, ia begitu cerewet dan bahkan kadang menampakkan sisi kecentilannya. Sikapnya inilah yang membuatnya mendapat julukan “buaya”, entahlah padahal yang ku tahu selama ini ia masih setia menjadi pendamping hati kekasihnya, yang sejak awal kami berteman tak pernah terdengar kabar retaknya hubungan mereka. Tak jauh berbeda dengan Arian yang selalu merasa tampan dan mengklain punya banyak fans, begitulah ia juga kadang menyebut dirinya. Bedanya Faiz selalu setia dan bangga memperkenalkan kekasihnya, meski ia diidolakan banyak wanita katanya.
Mika, temanku yag satu ini sedikit tertutup, begitu anggapan beberapa teman lainnya. Tapi, ia ternyata tipe orang yang memang tak bisa memulai. Saat berhadapan dengannya kita memang harus memulai duluan, terlebih jika kita betul-betul ingin mengenalnya lebih dekat. Mungkin juga usia yang terpaut tua beberapa tahun dari kami yang membuatnya menjadi pribadi yang sedikit tertutup. Julukan enterprneur sudah sangat melekat pada temanku yang satu ini, jiwa berbisnisnya tak perlu diragukan lagi. Ia paling handal dalm hal lobi-melobi dalam berbagai hal.
Itulah mereka, orang-orang yang sudah menjadi warna dan warni dalam hidupku. Aku hanya berusaha menuliskan apa yang teringatkan, yang terpikirkan, dan yang sulit untuk terkatakan. Jika satu waktu mereka memberiku kesempatan untuk menegatakan satu hal aku hanya ingin mengatakan apa yang selama ini sulit terkatakan bahwa Aku Mencintai Kalian, teman-temanku.... ©ART
Selasa, 05 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Warna dan Warni Hidupku