Jumat, 27 Juni 2014

Penuh

Kepalaku sudah cukup penuh

dengan segala pikiran yang ada disana

Baik yang ingin dan yang tak ingin ku pikirkan

Cukup! Dengan sangat aku memohon ,

jangan kau datang dan memaksa masuk ke kepalaku

Aku hanya punya satu kepala

dengan segala ribuan pikiran di dalamnya

Jangan kau menggenapkannya menjadi jutaan

Kecuali jika kau ingin melihatku sekarat

dengan beban di kepala yang sungguh berat


Makassar, 26 Desember 2013

Rabu, 25 Juni 2014

Alasan Untuk Cinta

Kadangkala seseorang memang butuh alasan untuk mencintai

Sebab mencintai tak seperti rumah yang dibangun tanpa desain dan fondasi

Karena itu, saat kau ingin mencintai

buatlah alasan yang kuat mengapa kau ingin mencintai

Jangan biarkan hatimu seperti istana pasir

yang dibangun semaunya di tepi pantai

Saat ombak datang, ia dengan senang hati menerjangnya

bahkan tanpa belas kasih ia dengan cepat berlalu

Maka buatlah hatimu menjadi rumah, meski bukan istana

Setidaknya ia akan menjadi rumah dengan fondasi yang kuat

Seperti itulah Cinta yang memang butuh alasan

Makassar, 09 Juni 2013

Selasa, 20 Mei 2014

Kau, Abstrak

Menuliskanmu dengan tinta-tinta harapan yang ku punya

Melukiskanmu dengan warna-warni kisah yang ada

Kau bukanlah barisan kata-kata dalam puisi

Bukan pula pelangi dengan tujuh warna

Kau tulisan yang tak tertuliskan

Kau lukisan yang tak terlukiskan

Kau adalah abstrak, tak jelas

Dan dengan mencintaimu,

Itulah alasan mengapa Aku harus men-jelas-kan-mu

Makassar, 9 Juni 2013

Pejam Matamu

Aku menemuan jawaban atas pertanyaanku

Di saat aku tengah berdiri di pelupuk pejam matamu

Meski kau masih belum membukanya,

aku tetap bisa menemukan jawaban itu

Jika matamu adalah jendela, maka aku adalah malam

Jendela yang tak pernah kau izinkan terbuka saat malam tiba

Beruntung kau tak pernah menganggap ku angin,

yang tak pernah kau izinkan masuk bahkan melalui celah-celah jendelamu

Aku justru ingin menjadi siang, di mana jendelamu selalu terbuka lebar untuknya

Dan di sanalah aku akan berdiri tanpa melihat pada pelupuk pejam matamu

Batangase, 31 Mei 2013

Cinta Yang Rumit

Ini cerita tentang cinta yang rumit, sangat rumit

Cinta yang seperti tak ingin berhenti untuk bernafas

Meski dengan segala ketidaksempurnaan, ia masih tetap hidup

Hidup dalam kelemahan dan hidup dalam ketidakindahan

Apa yang berkuasa saat ini hanyalah waktu

Bertitah di atas segala kelemahan yang ku punya

Bertitah di atas hati yang tak ingin berhenti mencintai

Mencintai dengan sisa waktu yang angkuh,

dengan sisa waktu yang tak pernah kosong

Ini cinta yang rumit...

Cinta yang berasal dari hati yang sederhana

Cinta yang berasal dari rumah yang tak berpintu

Makassar, 11 April 2013

Rabu, 27 Maret 2013

Temanku, maaf..maaf..maaf..

Hari diamana aku menulis surat ini adalah tepat hari ketiga kita terperangkap dalam kesalahpahaman. Ya, aku marah padamu, tapi aku yakin kau mungkin lebih marah padaku. Aku masih ingat pesan singkat terakhir yang ku terima darimu hari itu. Saat kau menuliskan kata 'egois' dan dengan lengkap menyebut namaku diakhiri dengan tanda seru. Jika ku bayangkan kata itu kau ucapkan langsung, aku bisa tahu nada suaramu akan seperti apa. Aku mengenalmu bukan kemarin sore, atau kemarin malam, aku mengenalmu sudah beribu-ribu malam yang lalu. Maaf atas keegoisanku hari itu, tak sedikitpun aku bermaksud menyusahkanmu. Hanya keadaan yang mendesakku untuk memintamu membantuku, dan kau sendiri tahu hari itu hanya kau yang tahu betul keadaanku. Bukannya mustahil untuk meminta kepada teman-teman yang lain, aku hanya tak ingin mereka tahu keadaanku yang sebenarnya saat itu, dan kau juga tahu itu bukan? Aku selalu menemukanmu di saat aku membutuhkanmu, tapi tidak untuk hari itu. Hari dimana kau tak bisa ada di saat aku membutuhkanmu, bahkan sekalipun aku memaksamu untuk ada saat itu. Di antara kelelahan yang terus menodongku hari itu, aku hanya tak bisa menerima alasan konyol mu yang tak bisa ada saat aku membutuhkanmu. Sebenarnya aku bisa percaya dengan alasan mu saat itu, tapi entahlah apa yang membuatku tak yakin. Begitulah kau, aku selalu memercayaimu, sekalipun tidak sebesar kepercayaan ku pada teman-teman yang lain, tapi entah kenapa aku selalu sulit untuk meyakini setiap apa yang kau ucapkan. Keegoisan yang sudah lama menjadi temanku malah tak bisa ku kendalikan. Jemariku yang terus mengetik pesan singkat juga tak bisa ku kendalikan, dengan sebuah kalimat berbariskan kata-kata yang sedikit kasar aku mengirim pesan singkat itu kepadamu. Dan tak kalah kasarnya kau membalas pesan yang ku kirim sebelumnya. Entah, seperti ada apa yang menghujam hatiku. Sakit, sangat sakit membaca kata demi kata yang kau alamatkan untukku. Aku juga tak tahu, mengapa harus se-sakit itu. Mungkin karena aku sudah terlalu mengenalmu, dan aku menyesali itu. Kau, mereka, kalian tahu dalam keadaan seperti itu apa yang pertama kali ku lakukan, ya menangis. Aku tak tahu pasti apa alasanku menangis kala itu, karena ucapanmu kah atau mungkin karena keeogisan ku yang terlalu mendarah daging denganku. Kejadian atas kemarahanmu hari itu semakin membuatku sadar, bahwa aku memang tak pernah begitu berguna untuk menjadi seorang temanmu. Aku mungkin bukan teman yang baik, karena teman yang baik bukanlah teman yang selalu merepotkan atau menyusahkan temannya. Aku sadar betapa aku selama ini seperti hanya menjadi beban saja, betapa aku selalu ingin di mengerti kalian, betapa aku harus menjadi teman yang cengeng untuk kalian, dan betapa aku tak bisa melawan ego ku. Maaf, jika aku tak bisa menjadi teman yang sempurna untuk mu, untuk kalian.Maaf jika selama ini aku tak bisa menjadi teman yang dibutuhkan seperti selama ini aku yang selalu membutuhkan kau, kalian. Aku tak bisa menjadi teman seperti kau, kalian, teman yang sesungguhnya. Semoga di kehidupan mendatang kita tidak lagi dipertemukan untuk di per-temankan. Untuk itu Maaf, hanya itu yang ingin ku sampaikan... © ART

Selasa, 26 Maret 2013

Untuk calon pacar (suami) ku

(int) Tulisan ini ku buat untuk mengungkapkan apa yang sulit untuk terbahasakan. Siapapun kau, surat ini hanya ku tujukan untukmu orang yang (sharusnya) selalu aku ada dalam keadaan apapun itu, calon pacar (suami) ku. Aku mencintaimu, satu ungkapan klise yang sangat lumrah diungkapkan setiap orang kepada orang yang ia kasihi. Tapi tidak untuk seorang wanita jika ia yang lebih dulu ingin memulainya, termasuk aku misalnya. Kata yang terkadang jika sesorang mulai mengungkapkan atau mengatakannya, mungkin akan disebut berlebihan. Untukmu calon pacar (suami) ku... Kau harus tahu betapa aku ingin mengatakan "aku mencintaimu" dihadapanmu, disaksikan langit dan tanah yang lapang, bersama ilalang yang gersang. Dan berharap setelahnya kau juga akan berkata yang sama ditambah kata "juga" di antara kedua kata itu. Calon pacar (suami) ku dimanapun kamu berada, termasuk dihatiku... kau tahu, beberapa hari ini aku seperti kehilanganmu, sekalipun aku memang tak pernah memilikimu. Sebelumnya ingin ku katakan ada banyak cerita yang ingin ku bagi denganmu. Termasuk cerita yang sudah ku rangkai sesaat sebelum aku (merasa) kehilanganmu. Kau tahu, seberapa ingin aku berbagi denganmu tentang hari-hari berat yang sempat ku lalui kemarin? Aku sangat ingin bercerita semuanya, saat aku bekerja sambilan di sebuah perusahaan. Tak cukup banyak yang awalnya tahu tentang hal itu, hanya orang-orang yang ku percaya saja, termasuk kau. Saat kelelahan yang terus menguasai diriku, saat kejenuhan menemaniku, aku sadar diantara mereka justru ada kau bersamaku, bayangmu maksudku. Calon pacar (suami) ku, hari itu aku mengalami kejadian yang kasarnya jika ku katakan itu adalah 'pelecehan'. Di hari terakhir aku memenuhi kontrak kerjaku di perusahaan itu aku harus mencari orang yang betul-betul berminat bergabung dengan perusahaan itu. Dan kau tahu, hari itu aku dipertemukan dengan pria hidung loreng, mengingatnya saja aku merasa muak. Aku mencoba menawarkannya selembar brosur yang berisikan promosi tentang perusahaan tempatku bekerja sambilan, sejak awal aku memang tak senang dengan matanya yang liar, tapi dengan tetap memegang teguh aturan perusahaan bahwa aku harus tetap terlihat ramah, aku masih mencoba berkomunikasi dengannya. Dan sialnya ia malah meraih tanganku, jika tak segera aku menariknya entah apa yang akan ia perbuat saat itu. Saat itu pula aku sangat berlari menjauh dari keramaian itu, menuju ke hadapan mu dan menumpahkan air mataku. Aku berharap saat itu kau ada, menyaksikan perlakuan pria bejat itu, dan kau akan marah. Tapi mustahil, hari itu kau bahkan tak merespon baik saat aku memutuskan berhenti dari pekerjaan itu dan tak peduli lagi dengan orang-orang yang jelas-jelas hanya meng-eksploitasi tenagaku saja. Aku memutuskan untuk pulang, dan segera ingin bertemu denganmu, bercerita semua yang terjadi dan menangis di hadapanmu sejadi-jadinya. Tapi apa yang terjadi, aku tak bisa menemukanmu, kau bahkan tak sempat mendengar seluruh keluh kesahku. Hari itu sungguh aku hanya ingin kau melihat dan mendengarkanku menangis, itu saja. Tak peduli apa kau ingi menghapus air mataku dengan jemarimu, karena meilhatmu dihadapanku saja itu sudah cukup menghapus semua kesedihanku, bahkan sebelum kedua mataku membentuk aliran sungai kecil di pipiku. Karena aku mencintaimu... © ART